Ditulis Oleh : Endang Pribadi ( Sosiolog dan wartawan Harian Rakyat Sumbar )
Konten berbahasa kasar di Media Sosial (Medsos) pada saat ini acap kali tersiar. Apalagi konten berbahasa Minang dengan ditambahi kata-kata kasar (bacaruik). Tragisnya, konten tersebut mendapat banyak pengikut diberbagai plafon medsos, khususnya Tiktok.
Bacaruik yang dulunya tabu, kini telah menemukan tempatnya, menjadi bahasa gaul yang dianggap keren, bahkan sering digunakan dalam percakapan informal sehari-hari.
Kenapa konten seperti ini digemari??. Apakah telah terjadi pergeseran budaya atau sebagai bentuk pelampiasan emosi akan keadaan bagi masyarakat Minang yang dikenal agamais?
Sebenarnya, bahasa kasar akan keluar, ketika seseorang atau kelompok tersulut emosinya. Tetapi, bacaruik tidak mutlak digunakan sebagai luapan amarah, rasa frustrasi atau kekecewaan saja. Bisa saja, seseorang menggunakannya karena meniru dan diterima di lingkungan tertentu. Tak ayal, bacaruik yang diucapkan menjadi penanda terjadinya keakraban disuatu kelompok sosial.
Individu atau kelompok sosial yang pacaruik, kerap dikaitkan dengan keadaan ekonomi, sosial dan agama. Artinya, kelompok masyarakat yang pacaruik, merupakan kelompok ekonomi yang berada level menengah ke bawah, yang ditunjang kualitas pendidikan yang rendah, serta pemahaman agama yang kurang.
Melihat plafon medsos di Sumbar yang mempublikasi bacaruik dalam memaparkan materinya, penulis melihat telah terjadi proses asimilasi budaya Minangkabau yang berfilosofi "Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah".
Tayangan dan informasi di medsos yang tanpa filter, mempengaruhi budaya dan sosial kepada kreator konten atau influencer lokal yang menggunakan bahasa Minang dalam memaparkan materinya.
Proses asimilasi ini dipengaruhi oleh musik dan film yang banyak memuat bahasa kasar, sehingga tanpa disadari membuat penggunaannya menjadi sesuatu yang normal bagi sebagian orang.
Para influencer tersebut secara terang-terangan menggunakan bacaruik untuk di jadikan bahasa gaul kasar dalam konten mereka. Mereka menganggapnya sebagai bagian dari brand mereka yang “apa adanya” atau “tidak jaim”. Alhasil, para pengikutnya mencontoh dan menganggap berkata kasar itu keren dan trendi.
Selain itu, media sosial menjadi tempat menyalurkan ekspresi diri, agar merasa lebih bebas untuk melontarkan makian tanpa takut terjadi konfrontasi langsung dengan pihak lain. Hal ini semakin memperparah kebiasaan bacaruik di medsos oleh para influencer.
Jelas, bacaruik yang dulu dianggap tabu dan hanya digunakan dalam situasi tertentu, kini tampak lebih mudah diterima dan bahkan menjadi bagian dari cara komunikasi sehari-hari, apalagi sering di ucapkan oleh para pembuat konten kreator.
Bacaruik yang disajikan di medsos oleh para influencer ini akan menimbulkan berbagai kekhawatiran, terutama terkait dengan bagaimana hal ini mempengaruhi perkembangan karakter, hubungan sosial dan budaya masyarakat secara umum.
Solusinya, pemerintah harus gencar melakukan program literasi digital yang menekankan etika berkomunikasi di media sosial dan cara mengelola emosi dengan baik bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi penggunaan bahasa kasar di medsos oleh influencer.
Apalagi lingkungan yang penuh bahasa kasar tidak aman dan tidak ramah, merusak pengalaman pengguna dan menghambat pembangunan hubungan sosial yang sehat.
Semoga pemerintah tanggap akan fenomena ini.
Editor : Alwis Ray